Minggu, 11 Desember 2016

My Goals

What a man can be, he must be. This need we call self-actualization.
- Abraham Maslow

Dari segudang teori yang ada, Teori Motivasi milik Abraham Maslow adalah salah satu yang paling relevan bagi saya. Teori ini membuat saya merenungkan apa yang bisa saya lakukan agar saya bisa 'terpenuhi' sebagai seorang manusia. Dan jawabannya adalah saya harus melakukan apa yang bisa saya lakukan. Memenuhi diri dengan diri. Woah, terdengar sangat filosofis. 

Rasanya tidak salah jika saya mengatakan bahwa manusia harus memiliki tujuan dalam hidupnya. Dengan memiliki tujuan, maka manusia akan memiliki motivasi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya hingga akhirnya ia mencapai tujuan tersebut dan memenuhi dirinya. Puncak aktualisasi diri manusia adalah saat ia memenuhi seluruh tingkatan kebutuhan lainnya.

Dalam post ini, saya akan membagikan apa tujuan hidup saya. Post ini tidak lain adalah lanjutan dari post sebelumnya yang membahas mengenai sosok yang menginspirasi bagi saya. Sosok inspirasional tersebut telah mengubah saya sedemikian rupa. Tidak berlebihan jika saya mengatakan bahwa sedikit banyak beliau secara tidak langsung telah membantu saya untuk menyadari apa tujuan hidup saya. 
 
Secara garis besar, tujuan hidup saya adalah untuk mengajar bagi Indonesia. Saya ingin sekali mempunyai kontribusi pada negara tempat saya lahir. Saya ingin mempunyai peran dalam membangun bangsa dan negara menjadi lebih baik. Untuk memenuhi tujuan tersebut, ada beberapa hal yang saya harus penuhi terlebih dahulu. Berikut adalah hal-hal yang harus saya penuhi agar tujuan utama saya bisa tercapai.

Berikut adalah gambaran besar dari tujuan hidup saya.




Dimulai dari mendapat gelar Sarjana di Universitas Esa Unggul.

Berikut hal-hal yang ingin saya capai sebelum menyelesaikan studi di Universitas Esa Unggul

Bulan September lalu saya memulai studi saya di Universitas Esa Unggul. Saya mengambil gelar sarjana untuk Psikologi. Alasan saya mengambil program didikan tersebut adalah karena saya sangat tertarik dengan kejiwaan manusia. Dalam menjalani studi saya di Universitas Esa Unggul, saya tidak terlalu berambisi untuk mendapat nilai A dalam semua mata kuliah. Standar saya sederhana: jangan sampai dapat C. Karena kalau dapat C, maka saya tidak bisa apply beasiswa di tingkatan studi yang lebih tinggi. Selain itu, saya juga ingin sekali menerbitkan sebuah novel fiksi. Saya sangat suka menulis dan saya bertekad sebelum bulan Juli 2018, saya akan menyelesaikan naskah novel saya dan mengajukannya pada penerbit. Meski keinginan ini tidak mempunyai korelasi dengan tujuan utama saya, tetapi saya sangat ingin mewujudkannya. Sekali lagi saya tidak mempunyai ambisi untuk mendapat nilai straight A, karena itu saya juga tidak berambisi untuk lulus dalam kurun waktu 3,5 tahun. Tetapi saya mematok bahwa saya akan diwisuda dari Universitas Esa Unggul pada bulan Oktober 2020.


Setelah saya diwisuda di Universitas Esa Unggul, saya ingin sekali merasakan rasanya menjadi backpacker. Saya berencana akan menjadi backpacker Jawa-Bali selama beberapa bulan sebelum saya melanjutkan studi ke tingkat yang lebih tinggi.

Entah sejak kapan saya jatuh cinta pada negara ini, Norwegia. Kalau tidak salah ingat, saat itu ada seorang dosen yang memperkenalkan saya pada negara yang mengagumkan ini. Negara dengan taraf pendidikan yang cukup baik, yang bertetangga dengan Finlandia. Negara yang menjadi tempat dimana Oslo University, salah satu universitas tertua di dunia berdiri tegak. Karena itu, setelah saya mendapatkan gelar sarjana di Universitas Esa Unggul, saya akan menginjakkan kaki saya di negara ini. Untuk masa depan yang lebih baik.
Berikut adalah beberapa hal yang akan saya wujudkan selama saya di Oslo, Norwegia.
Saya akan berangkat ke Oslo, Norwegia pada awal tahun 2021 setelah saya diwisuda di Universitas Esa Unggul. Saya akan melanjutkan studi Master saya di Oslo University. Program Master di Oslo University akan dimulai pada bulan Oktober, karena itu, sebelum saya memulai studi Master saya, saya akan mencari tempat tinggal dan pekerjaan untuk menunjang pendidikan saya di Oslo University. Masa pendidikan Master Degree di Oslo University berkisar antara 2 sampai 2,5 tahun. Saya optimis akan diwisuda di Oslo University pada bulan Oktober 2023. Setelah mengantongi gelar Master, saya akan mengajukan lamaran untuk menjadi tenaga pengajar di Oslo University. Pada tahun 2024, tepatnya bulan Oktober, saya akan memulai program doktoral saya. Sejak dulu, saya sudah memimpikan ingin mempunyai gelar PhD di belakang nama saya. Gelar PhD ini bukan hanya sebagai pajangan atau hiasan belaka, namun untuk sebuah rencana yang sudah saya buat sejak kecil. Setelah saya mendapat gelar PhD, saya akan menjadi dosen di Oslo University hingga tahun 2037, dengan harapan, pada tahun itu saya sudah mengantongi pengalaman menjadi dosen selama 10 tahun lebih. Pada tahun 2037, saya akan kembali ke Indonesia.
Berikut adalah beberapa hal yang akan saya lakukan di Indonesia setelah saya mempunyai 'cukup' bekal.
Indonesia adalah tanah kelahiran saya. Tak hanya sebuah tempat, Indonesia juga menjadi identitas kebangsaan saya. Walau banyak hal yang tidak ideal di Indonesia, namun saya tidak pernah merasa malu menyandang identitas kebangsaan ini. Karena itu, setelah saya mempunyai bekal yang 'cukup', saya akan kembali ke Indonesia dengan hanya satu tujuan, yaitu untuk membangun Indonesia menjadi lebih baik lagi.
Salah satu hal yang akan saya lakukan di Indonesia adalah berbagi ilmu. Saya ingin sekali berbagi ilmu kepada anak-anak Indonesia agar kelak mereka juga dapat menjadi kontribusi positif bagi Indonesia. Berbagi ilmu bisa dengan cara apa saja. Bisa mengajar di institusi formal, maupun informal. Atau bahkan pergi ke desa-desa, menetap di sana dan membagikan apapun yang saya punya kepada anak-anak di sana. Sejak kecil, saya mempunyai mimpi untuk menjadi seorang pengajar di desa dan memotivasi anak-anak di desa agar mereka juga mempunyai pikiran yang sama dengan saya untuk bersama-sama membangun Indonesia menjadi lebih baik.
Bila bisa disingkat, sebenarnya tujuan saya sangat sederhana. Saya hanya ingin mempunyai sedikit kontrubusi untuk membangun negara kelahiran saya, Indonesia. Dan untuk mewujudkan mimpi kecil itu, saya harus menjalani beberapa langkah besar bahkan sampai ke negeri orang. Semua ini saya lakukan untuk Indonesia.

Senin, 26 September 2016

"Who inspired you the most?"

Kali pertama kami masuk ke kelas Motivasi Usaha yang diajar oleh Pak Andi, ia memberi kami tugas untuk menceritakan siapa individu (satu atau lebih) nyata atau tidak nyata yang menginspirasi kami.

Dalam perjalanan pulang menuju rumah, saya terus memikirkan siapa sosok yang tepat yang bisa saya tunjuk sebagai seorang inspirator hidup saya.

Orangtua kah?
Selebritis papan atas kah?
Filsuf kenamaan?
Atau para miliarder pengguncang dunia yang bahkan tak lulus sekolah?

Ah mungkin nanti akan muncul dengan sendirinya siapa sosok tersebut, pikir saya.

Oh akan lebih baik jika saya memberi perkenalan terlebih dahulu. Nama saya Novianna Stefany, mahasiswa kelas paralel semester satu fakultas Psikologi di Universitas Esa Unggul. Alasan saya ingin mengambil Psikologi sebagai major dalam gelar sarjana saya hanya karena saya sedang tertarik dengan ilmu tersebut. Saya memilih untuk menempuh pendidikan di Esa Unggul karena universitas ini memiliki akreditasi yang cukup baik dalam kelas paralel yang tersedia.

Selain seorang mahasiswa, saya juga seorang tenaga pengajar atau biasa dipanggil 'guru'. Wah terdengarnya saja sudah membosankan.

Kalau sudah besar mau jadi apa? Hah? Guru? Mau makan apa kalo jadi guru?
Kamu kerja apa? Hah? Guru? Kan gajinya kecil..
Wah jadi guru enak ya. Cuma ngajar doang

Tanggapan klasik yang terlampau sering saya dengar saat saya mengatakan profesi saya sebagai seorang guru. Ingin meneteskan setetes-dua tetes air mata setiap mendengar tanggapan-tanggapan tersebut. Bagi kebanyakan orang, bekerja sebagai guru, bukanlah sesuatu yang patut dibanggakan. Profesi itu dianggap setingkat lebih rendah daripada profesi-profesi lainnya.

Tapi tidak bagi saya.
Bagi saya, menjadi seorang guru adalah sebuah kehormatan terbesar yang bisa saya sandang.
Tentu pemikiran seperti ini tidak lahir begitu saja.

Tidak seperti kebanyakan orang, saya sering sekali berpindah sekolah, mengikuti pekerjaan Ayah yang mengharuskan beliau untuk menetap di kota-kota yang berbeda. Karena sering berpindah sekolah, saya tidak pernah mempunyai teman dekat. Setahun di kota A, dua tahun di kota B, dan begitu seterusnya hingga akhirnya pada tahun 2007 kami sekeluarga berkomitmen untuk menetap di Jakarta.

Saya bukan anak yang cerdas, baik dalam pelajaran maupun dalam skill sosial. Saya rasa saya tidak mempunyai talenta yang dipunyai oleh kebanyakan teman-teman saya. Mereka ada yang pandai berolahraga, entah itu basket, futsal, berenang, atau apapun itu. Mereka ada yang pandai dalam berhitung, selalu mendapat nilai sempurna dalam Matematika, Fisika, dan Kimia. Mereka ada yang pandai bernyanyi, lagu apapun kan terdengar indah bila mereka nyanyikan.

Dan ditengah-tengah teman-teman yang hebat seperti itu, ada saya. Anak pindahan yang tak bisa apa-apa.

Pemikiran yang seperti itu membuat saya berkembang menjadi anak yang pemalu. Setiap ada presentasi kelas yang mengharuskan kita untuk berbicara di depan banyak orang, saya selalu gugup dan entah apa saja yang akan keluar dari mulut ini.

Sampai akhirnya saya bertemu seseorang.
Seseorang yang mempunyai andil terbesar dalam hidup saya.
Seorang guru yang hebat.
Pengajar yang memiliki hati kepada setiap naradidik yang ia didik.

Namanya adalah Novi Dwi, something.
Uh andai saya punya ingatan yang lebih baik, saya tentu akan memberi tahu anda nama lengkap sosok hebat ini.

Kami biasa memanggilnya Miss Novi. Ia mengajar bahasa Inggris saat saya kelas 1 SMA. Sayang sekali kami hanya sempat diajar setahun olehnya. Tahun berikutnya ia harus pulang ke kampung halamannya di Yogyakarta. Sedih, tentu. Andai saja saya bisa lebih lama menghabiskan waktu dengannya.

Miss Novi tak hanya melatih skill kami dalam berbahasa Inggris, namun juga memberikan banyak pelajaran hidup. Ia tak hanya seorang pengajar, namun juga pelatih. Tak hanya pelatih, tapi juga seorang pendidik. Dan tak hanya pendidik, tapi juga seorang teman.
Ia tak pernah lelah menyemangati kami untuk terus berlatih berbicara agar semakin familiar dengan bahasa Inggris. Ia selalu menyediakan waktu untuk kami, untuk saya, yang tidak percaya diri, pemalu, dan tidak bisa apa-apa. Ia memberi kami, memberi saya, sebuah sudut pandang baru bahwa seorang guru bukan sosok yang kejam yang selalu memberi tugas sesuka hati tanpa memikirkan apakah sang naradidik mampu atau tidak.

Miss Novi yang mempunyai hati yang begitu besar untuk kami, para naradidiknya, selalu mengajar dengan penuh persiapan. Tak pernah sekalipun ia melewatkan kesempatan untuk memberi kami setiap bahan ajar yang ia telah siapkan. Berbeda sekali saat masuk kelas seorang pendidik yang ogah-ogahan dan saat masuk kelas seorang pendidik yang memang mempunyai hati besar untuk para naradidiknya.

Terpenting adalah Miss Novi mengajarkan kami, mengajarkan saya, bahwa menjadi seorang guru tak hanya mengajar atau mendidik sebuah kelas (komunal) tetapi justru mengajar atau mendidik seorang naradidik (personal).

Saya tidak tahu ada berapa individu yang tersentuh oleh cara mengajar Miss Novi. Saya tidak tahu ada berapa individu yang mengalami perkembangan (baik dari segi kemampuan berbahasa Inggris atau hanya sekedar berkembang cara berpikirnya) selama diajar oleh Miss Novi tetapi saya bisa pastikan bahwa saya adalah salah satu hasil dari benih yang ditabur oleh Miss Novi.

Saya sangat bersyukur pernah bertemu oleh sosok yang hebat ini.
Dengan sebuah hati yang sungguh-sungguh dalam melakukan pekerjaannya, ia dapat menghasilkan satu lagi calon pendidik. Entah pendidik macam apa saya ini, saya tak berani menilai. Saya berharap apapun yang saya ajarkan pada naradidik saya, entah itu kognitif atau afektif, mereka dapat merasakan seperti apa yang saya rasakan saat diajar oleh Miss Novi.

Sekali-dua kali saya berpikir andai saat itu saya tak pernah bertemu Miss Novi, apa jadinya saya sekarang ini?

      Satu yang pasti, saya akan tetap membenci pelajaran Bahasa Inggris. Bahasa asing yang sangat abstrak bagi saya, diterjemahkan dengan indah dan menarik oleh beliau. Itu yang memotivasi saya untuk terus belajar hingga akhirnya saya bisa lumayan fasih berbicara bahasa Inggris.
      Kedua, saya akan tetap menjadi seorang yang tidak percaya diri, pemalu dan selalu merasa tidak bisa apa-apa.
      Ketiga, saya tidak akan mempunyai sebuah tujuan yang pasti, fokus yang jelas. Bila dulu saat masih bocah, ada yang bertanya "Kalau sudah besar mau jadi apa?" pasti setiap jawaban yang terucap akan berbeda. Entah jadi dokter, insinyur, model, pramugari, dan lainnya. Tapi semenjak bertemu dengan Miss Novi, saya bisa dengan mantap mengatakan bahwa kelak saya ingin menjadi seorang guru, seperti Miss Novi.

Memang tak hanya Miss Novi yang menginspirasi saya menjadi seorang pendidik yang mempunyai hati untuk para naradidiknya. Saya bertemu banyak sekali pendidik yang juga memiliki hati bagi para naradidiknya. Tak hanya mengalirkan ilmu dari kepala mereka ke kepala kami, namun juga berbagi hidup. Bukankah itu lebih penting? Membagikan buah-buah hidup yang jelas bisa diaplikasikan ketimbang teori-teori abstrak yang entah apa signifikansinya selain hanya untuk menyelesaikan tuntutan pendidikan tertentu.



Sekian cerita dari saya.
Terima kasih.